Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Selamat Datang di 2Tsuraya Webblog, Terima Kasih atas kunjungannya

Laman

Jumat, 20 Januari 2012

BURUNG CAMAR JONATHAN
() - Kontribusi dari Richard Bach - Terakhir diperbaharui (Minggu, 12 Agustus 2007)
Sudah menjadi kebiasaan selama ribuan tahun bagi burung-burung camar, bahwa setiap pagi mereka selalu mencari
sisa-sisa makanan dari perahu para nelayan. Ikan-ikan kecil yang tak dibawa pulang, kembali dibuang di pinggir pantai
oleh para nelayan, dan itulah makanan burung camar.
Sudah menjadi kebiasaan selama ribuan tahun bagi burung-burung camar, bahwa setiap pagi mereka selalu mencari
sisa-sisa makanan dari perahu para nelayan. Ikan-ikan kecil yang tak dibawa pulang, kembali dibuang di pinggir pantai
oleh para nelayan, dan itulah makanan burung camar.
Jonathan, salah satu dari burung-burung camar itu, memiliki perangai berbeda dengan yang lainnya. Ia tak mencari
makanan, tetapi malah berlatih terbang dengan serius. Berbagai gaya dan cara dipelajarinya: lurus, belok, menukik,
menghujam dsb. Pada sebuah tikungan ia terbang perlahan, mengepakkan sayap, tapi karena ragu, ia pun terjatuh.
Namun ia bangkit kembali. Ia memang seekor burung camar yang luar biasa. Ibunya berkata, “Anakku, engkau
begitu kurus, tinggal tulang dan bulu saja”. Ayahnya pun mengatakan,”Musim dingin segera tiba, perahu
nelayan sangat sedikit dan ikan-ikan akan lebih dalam menyelam. Yang perlu dipelajari adalah menyelam lebih dalam,
untuk mendapatkan makanan. Belajar terbang memang baik, tetapi, mencari makanan itu yang penting”.
(Bukankah seringkali justru rintangan/hambatan untuk maju berasal dari orang-orang terdekat? Sesungguhnya
bukannya mereka berniat menghalangi, namun mereka tidak rela jika orang yang dikasihi itu menderita, meskipun untuk
maju).
Jonathan mencoba menuruti nasihat ayahnya. Beberapa minggu menjadi burung camar biasa. Berebut dengan temanteman
untuk mematok kepala ikan dan remah-remah roti dari para nelayan. Sayang, ia tak dapat melakukan itu lebih
lama. Ia pikir, ini sia-sia, lebih baik belajar terbang. Ketika telah memecahkan kecepatan tertinggi yang pernah dicapai
burung camar, ia mengalami malapetaka. Ketika ia menukar sudut sayapnya, ada sesuatu memukulnya bagai dinamit. Ia
terhempas dan terbanting dengan keras ke dalam laut. Ia semaput.
Saat ia sadar hari sudah malam, bulan membayang, sayapnya hancur berkeping, luka terberat pada punggungnya.
Dengan putus asa ia pikir, berat badannya pasti akan menenggelamkannya dan tamatlah riwatnya. Saat-saat akan
tenggelam ia mendengar bisikan. Tak ada jalan lain, saya adalah seekor burung camar. Saya terbatas oleh alam. Jika
saya ingin sungguh-sungguh belajar terbang, saya harus memeras otak saya. Ia kembali berpikir untuk menjadi burung
camar BIASA seperti lainnya. Tapi dorongan lain muncul. Ia tetap ingin belajar terbang dan dengan ketekunannya ia
menjadi seekor burung camar yang luar biasa. Ia sempat terbang dengan kecepatan tingi di hadapan teman-temannya,
meski ia khawatir akan terjadi tubrukan, nyatanya tidak juga. Bahkan ia menyaksikan keberhasilan yang telah
dicapainya, yang juga dilihat teman-temannya. Berbulan-bulan lamanya ia latihan terbang, dan manakala ia pulang hari
telah larut. Ia ingin membagi kegembiraan dengan teman-temannya. Karena ia merasa betapa sungguh berartinya hidup
ini. Daripada melakukan pekerjaan yang membosankan setiap hari, kita dapat mengangkat diri kita keluar dari
kebodohan, kita dapat membuktikan bahwa kita makhluk terunggul, terpandai, tercakap yang pernah diciptakan. Kita
dapat bebas!
Tahun mendatang penuh harapan dan janji. Waktu ia mendarat nampak burung-burung camar lain sudah berkumpul di
Dewan pertemuan, sedang menunggu sesuatu. Tiba-tiba kata-kata ketua burung camar menggelegar, “Burung
Camar Jonathan Livingstone! Berdiri di tengah!” Jonathan pikir, yang disuruh berdiri di tengah pasti hanya ada
dua: Yang melakukan kesalahan besar atau patut menjadi pemimpin besar. Tiba-tiba suara ketua menggelegar lagi.
“Burung Camar Jonathan Livingstone! Berdiri di tengah karena suatu keaiban di hadapan kawan-kawan
lain!” Ia merasa terpukul oleh papan. Lututnya lemas, bulu-bulunya merinding, telinga berdengung. Apa?
Keaiban? Tidak mungkin! Rekor baru itu? Mereka tak mengerti. Pasti mereka salah! Jonathan membatin.
“...karena tidak memperhatikan aturan,” suara tenang dalam hatinya, “...melanggar kemuliaan dan
adat istiadat keluarga burung camar!”
Ditempatkan di tengah karena keaiban berarti ia akan dicampakkan dari kelompoknya dan hidup sendirian di tebingtebing
jauh dalam pembuangan.
“Satu hari nanti, burung camar Jonathan, kamu akan tahu bahwa melepaskan tanggung jawab adalah nista.
Hidup adalah ketidaktahuan dan ketidakmungkinan. Kita dilahirkan di dunia ini tidak lain adalah untuk cari makan, dan
untuk bertahan hidup sedapat mungkin selama kita mampu.”
Meski tak seekor pun burung camar yang berani membantah, Jonathan menentangnya dengan suara keras,
”Tidak bertanggung jawab? Siapa yang lebih bertanggung jawab daripada seekor burung camar yang telah
menemukan suatu makna untuk tujuan hidup yang lebih tinggi? Seribu tahun lamanya kita telah mencabik-cabik kepala
ikan, tapi sekarang kita punya satu alasan untuk hidup, untuk belajar, untuk menemukan dan untuk bebas! Beri saya
satu kesempatan dan biarkan saya menunjukkan apa yang telah saya dapatkan...”
“Persaudaraan kita telah terputus!” teriak burung-burung camar itu bareng, lalu dengan menutup telinga
meninggalkan Jonathan sendirian.
Jonathan menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian. Terbang jauh melampaui tebing-tebing. Kesedihannya bukan
http://www.sekolahkehidupan.com - Sekolah Kehidupan Powered by Mambo Generated: 25 July, 2009, 04:28
karena kesepian dan kesunyian, tapi karena teman-temanya tidak mau mengakui kegemilanganya dalam terbang. Ia
sedang menunggu kesadaran mereka untuk membuka mata dan melihat kenyataan.
(Justru orang-orang maju, yang berkembang, melebihi teman-temannya, seringkali mengalami nasib malang, ia tidak
dipahami malah disingkirkan, dibuang dari kumpulannya. Kumpulan tak mau mengakui keunggulan salah seorang
anggota yang lebih baik. Mereka merasa terancam karena keunggulan salah satu warganya, walau itu hanya persepsi
mereka saja).
Jonathan lebih banyak belajar lagi. Lebih lagi. Sampai ia menyadari apa yang pernah ia harapakan untuk kumpulan
camarnya telah ada pada dirinya sendiri. Dia belajar untuk terbang dan tidak menyesal akan harga yang telah
dibayarnya. Jonathan menemukan bahwa kejemuan, ketakutan dan kemarahan adalah sebab mengapa kehidupan
mereka begitu pendek, dan dengan menghilangkan hal-hal tersebut dari pikirannya, ia dapat hidup lebih baik dan lebih
lama.
Ketika Jonathan terbang sendirian, tiba-tiba muncul dua ekor burung camar lain yang memerhatikan dan mengikutinya
terbang dengan beraneka gaya. Akhirnya kedua burung asing itu mengatakan, “Sangat baik”.
Tetapi Jonathan bingung dan bertanya,”Siapakah Anda?”
“Kami dari kumpulanmu Jonathan. Kami adalah saudaramu”, katanya dengan tegas tetapi lembut. “
Kami datang untuk mengangkatmu, membawamu pulang”.
“Rumah saya tidak punya, kawan pun tidak. Saya adalah burung buangan. Sekarang kita terbang pada puncak
Great Mountain Wind. Di bawah ratusan kaki, saya tak dapat mengangkat tubuh tua ini lebih tinggi”.
Akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat Jonathan sebagai pemimpinnya, dan Jonathan telah siap.
(Ada seorang pemain bisbol. Setiap kali pertandingan ia ditempatkan sebagai pemain cadangan. Ia tidak pernah
mengeluh. Bahkan terus menerus berlatih, tanpa mengurangi jadwalnya. Pada suatu momen pertandingan antarnegara,
pemain utama berhalangan. Pemain cadangan itulah yang menggantikannya, karena ia telah siap. Kesempatan selalu
mendatangi orang yang telah siap).
Jonathan merasa berada dalam surga. Ia merasa kemampuan terbangnya dua kali lipat daripada rekornya di bumi.
Kenangan kehidupan di bumi sudah hilang. Bumi pernah merupakan suatu tempat di mana ia telah mempelajari banyak
hal, tentu saja, tetapi perkara-perkara kecilnya telah hilang.... seperti saling berebut makanan dan menjadi camar
buangan.
12 ekor burung camar datang menemuinya. Meski tak berkata sepatah pun, Jonathan merasa dirinya disambut, di sinilah
rumahnya. Hari itu telah menjadi hari yang penuh arti baginya. Terbit dan tenggelamnya matahari tak diingat lagi. Di sini
banyak hal tentang terbang dapat dipelajari. Ada satu perbedaan: Burung-burung camar di sini punya pemikiran seperti
dia. Bagi mereka yang terpenting adalah hidupnya mencapai suatu kesempurnaan akan hal yang paling mereka sukai,
yaitu terbang. Mereka adalah burung-burung hebat, luar biasa, yang menghabiskan setiap jam kehidupannya untuk
berlatih terbang, mencoba taktik-taktik yang lebih maju.
Ketika dia tanyakan kepada teman barunya, Sullivan, ia mendapat jawaban, “Satu-satunya jawaban adalah
bahwa kamu adalah burung camar yang paling istimewa di antara jutaan burung lain. Sebagian besar dari kami sangat
lambat dalam mencapai keberhasialn itu. Kami mengembara dari satu dunia ke dunia lain yang hampir sama, melupakan
tempat asal kami dan tidak peduli akan masa depan, hidup hanya untuk saat itu. Tahukah kamu, berapa banyak
kehidupan yang harus kami lalui sebelum kami mendapat gagasan bahwa hidup adalah lebih dari sekedar untuk makan
dan merebut kekuasaan di dalam kumpulan kami? Seribu kehidupan, Jo, sepuluh ribu. Dan ratusan kehidupan lagi
sampai kami mengetahui ujud suatu kesempurnaan. Ratusan kehidupan lagi untuk mendapatkan ilham bahwa tujuan
hidup kami adalah mencari kesempurnaan dan menunjukkannya.
Suatu sore, Jonathan menemui Chiang, dan menanyakan tentang surga. Chiang menjawab, ”Surga bukanlah
suatu tempat dan juga bukan waktu. Surga adalah kesempurnaan. Kamu akan mulai menyentuh surga, pada saat kamu
mencapai suatu kecepatan sempurna. Kesempurnaan tidak mengenal batas.” Jonathan menyaksikan camar tua
yang masih gesit itu tiba-tiba menghilang dalam sekejap lalu muncul di tempat lain. Jonathan ingin belajar terbang
seperti itu.
“Kamu dapat pergi ke mana saja dan kapan saja bila kamu mau. Saya sudah pergi ke setiap tempat setiap saat
bila saya memikirkannya. Ini adalah hal yang asing.
Burung-burung camar yang hanya mementingkan suatu pengembaraan tanpa menuntut kesempurnaan tak akan dapat
pergi ke mana-mana dalam sekejap. Ingat Jo, surga bukanlah suatu tempat atau suatu kurun waktu, karena tempat dan
kurun waktu terlalu tidak berarti. Surga adalah ...”.
Untuk dapat terbang secepat pikiran, ke mana saja, kamu harus memulai dengan mengetahui bahwa kamu sudah tiba.
Lalu Chiang pergi menghilang. Sebelumnya ia meninggalkan pesan bahwa Jonathan harus terus belajar dan bekerja
dalam kasih. Jonathan ingin membagi pengalamannya dan kemahirannya kepada burung-burung camar di bumi, yang
pernah membuangnya.
Sullivan, temannya, menasehati agar ia tidak usah kembali ke kumpulannya, tetapi melatih saja di tempat yang baru.
http://www.sekolahkehidupan.com - Sekolah Kehidupan Powered by Mambo Generated: 25 July, 2009, 04:28
Untuk beberapa bulan lamanya Jonathan mengikuti nasehat Sullivan, sampai ia mendapatkan murid-murid baru yang
diajarkannya terbang. Setelah mereka mahir, mereka diajak untuk kembali pulang ke kampung halaman Jonathan dan
membagi pengalaman mereka. Meski ada rasa cemas, dan melanggar peraturan ribuan tahun, namun toh Jonathan
berangkat juga ke kampung halaman.
(Jarang sekali orang yang sudah sukses mau kembali ke kampung halaman untuk memajukan teman-teman dan
saudara-saudaranya. Yang sering terjadi, mereka lupa kan kampung halamannya. Hal ini tidak berlaku bagi Jonathan).
“Seluruh tubuh Anda, dari ujung sayap ke ujung sayap lainnya, tidak lebih dari pikiran Anda sendiri, dalam bentuk
yang dapat Anda lihat. Patahkan rantai pikiran Anda, dan Anda akan mematahkan rantai yang membelenggu tubuh
anda...”.
Jonathan mengajak kawan-kawan dari kumpulan terbuang, untuk kembali ke kampung halamannya. Meski ada
perasaaan ragu dan cemas, apalagi dengan adanya peraturan, bahwa mereka yang telah dibuang tidak boleh
kembalilagi, toh mereka berangkat juga.
Ketika mereka terbang dengan formasi indah, ribuan burung camar di bumi memerhatikan mereka. Saat mereka
mendarat, apa yang dikhawirkan Fletcher akan terjadi pertempuran, tidak terbukti. Bahkan meski mereka menyadari
bahwa kumpulan kecil itu adalah burung camar buangan, tapi mereka mengagumi kemahiran terbang mereka. Tetapi,
sang Ketua setelah sekian lama diam, berteriak, “Abaikan mereka! Barang siapa bicara dengan camar terbuang,
iapun ikut terbuang”.
Burung-burung buangan itu pun melakukan latihan terbang setiap hari, sampai akhirnya setelah satu bulan, setiap saat
Jonathan memberikan instruksi kepada murid-muridnya dalam suatu lingkaran, ada lingkaran lain mengelilingi muridmurid
Jonathan. Malam berikutnya Kirk Maynard, dari kumpulan berjalan terhuyung, menyebarnagi pasir, menyeret
sayap kiri dan jatuh di kaki Jonathan. “Tolong saya. Saya ingin terbang lebih dari segala-galanya,” katanya
mengiba pada Jonathan.
“Mari, loncatlah dari tanah bersama saya dan kita mulai!”
“Anda tidak mengerti! Sayap saya, saya tidak bisa mengembangkan sayap saya...”
“Burung camar Maynard, Anda mempunyai kebebasan menjadi diri anda sendiri, di sini, sekarang juga. Tak
sesuatu pun yang dapat menghalangi anda. Ini undang-undang Camar Agung, itulah peraturannya”.
“Anda katakan, saya dapat terbang?”
“Saya katakan, Anda bebas!”
Dengan cepat dan mudah Kirk Maynard membentangkan sayap, mengangkat tubuh ke dalam udara malam gelap gulita
dengan tidak bersusah payah. Tiba-tiba ia menjerit sehingga membangunkan camar-camar lain dari tidurnya,
”Saya bisa terbang! Dengar... SAYA BISA TERBANG!”
Pagi harinya, burung-burung camar lainnya ingin mengikuti jejak Maynard. Mereka banyak bertanya kepada Jonathan,
dan dengan sabar Jonathan menjelaskannya.”Kita semua sama. Apakah kami semua yang terbuang ini istimewa,
berbakat dan sangat baik? Tidak. Tidak lebih dari Anda sekalian, sama seperti saya juga. Bedanya yang utama, mereka
ini telah memulai memahami siapa diri mereka dan telah memulai berlatih..”
(Di pojok sebuah jalan, dekat pasar dan sekolah, ada seorang penjual balon. Untuk menarik pembeli ia melepaskan
balon warna-warni ke udara sambil memutar musik keras-keras. Satu saat ada seorang bocah kucel, dengan wajah
takut-takut datang dan bertanya dengan ragu, “Paman, kalau balon itu berwarna hitam, apakah dia juga bisa
terbang?” Terharu oleh pertanyaan sang bocah, paman penjual balon itu langsung memeluk anak kecil itu dan
berkata, "Nak, bukan karena warnanya, balon itu bisa terbang, tetapi karena isi yang ada di dalamnya!”
Bukan karena kekayaan, kecantikan, keturunan atau yang lainnya, yang membuat orang bisa sukses, tetapi apa yang
ada di dalam hatinya, dalam jiwanya, semangatnya, hasratnya untuk sukses)
Ketika Fletcher sedang berlatih terbang sendiri, tiba-tiba ada seekor burung camar kecil yang terbang lewat jalurnya.
Tabrakan tak terhindarkan, dengan cepat Fletcher membelokkan tubuh, dan tiba-tiba... brak! Fletcher menabrak batu
karang. Antara sadar dan tidak, ia pun melayang-layang di udara, sampai Jonathan mendekatinya. Ia merasa sudah
mati, tapi Jo menghiburnya. Setelah sadar benar, ia mengatakan kepada Jonathan, “Bagaimana mungkin dapat
mengasihi kumpulan burung yang telah mencoba membunuh mereka”. Tapi, Jonathan mengatakan, “Anda
harus berlatih dan melihat burung camar sejati, kebaikan dalam diri mereka dan menolong mereka untuk mengetahuinya
sendiri. Itulah kasih sayang, sangat menyenangkan bila kita dapat melakukannya".
Akhirnya, Jonathan menyadari bahwa ia harus pergi ke tempat lain, untuk itu ia telah siap menyerahkan tongkat
kepemimpinan kepada Fletcher, penggantinya.
(Sebagai seorang pemimpin yang baik, setelah memberikan teladan yang baik, ia pun rela jika yang dipimpinnya maju
dan berkembang. Dan pada saatnya, ia rela lengser, menyerahkan kursi kepemimpinan kepada penggantinya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Komentar Anda, kritik dan saran dapat dikirimkan melalui email: almuttahidin@gmail.com